You are currently viewing Pentingnya Ikhlas dalam Belajar, Mengapa?

Pentingnya Ikhlas dalam Belajar, Mengapa?

Forum Baca – Pentingnya Ikhlas dalam Belajar. Berbicara keikhlasan, pada hakikatnya hanya diri sendiri yang mengetahui ikhlas tidaknya dan letaknya ada pada hati. Amal ibadah pun akan diterima oleh Allah asalkan dilakukan dengan ikhlas (murni) karena Allah, kecuali shalawat. Lalu bagaimana dengan ikhlas dalam belajar atau menuntut ilmu? Mengapa Harus Ikhlas dalam Belajar atau Menuntut Ilmu?

Banyak redaksi yang menjelaskan etika/adab seseorang yang belajar (pelajar) seperti siswa/i, mahasiswa/i, santri, dst. Bahkan etika/adab seorang yang mengajar (guru, dosen, ustadz/ah, mu’allim/ah, mudarris, dst) juga dijelaskan.

Tentu dalam proses belajar, pasti ada interaksi antara guru (pemberi ilmu) dan muridnya (penerima ilmu). Hal terpenting adalah ikhlas karena Allah dengan niat yang baik.

Definisi Arti Ikhlas

Banyak ulama yang mendefinisikan terkait apa itu ikhlas. Salah satunya oleh Al-Ustadz Abu Al-Qasim Abdul Karim bin Hawazin Al-Qusyairy dalam risalahnya beliau menyatakan:

الإِخْلَاصُ إفْرَادُ الحَقِّ فِيْ الطَّاعَةِ بِالْقَصْدِ، وَهُوَ أَنْ يُرِيْدَ بِطَاعَتِهِ التَّقَرُّبَ إِلَى اللهِ تَعَالى دُوْنَ شَيْئٍ آخَرٍ، مِنْ تَصَنَّعٍ لِمَخْلُوْقٍ أَوْ شَيْئٍ سِوَى التَّقَرُّبِ إِلَى اللهِ تَعَالَى. 

“Ikhlas adalah dengan sengaja mengkhususkan ketaatan kepada yang Maha Haq dengan ketaatannya itu ia berniat mendekat diri kepada Allah semata. Tidak ada hal lain, seperti berbuat untuk makhluk, dipuji-puji di kalangan orang banyak, menyukai pujian dari makhluk atau hal apapun selain mendekatkan diri kepada Allah.”


Beliau juga melanjutkan definisi di atas dengan:

الإِخْلَاصُ تَصْفِيَةُ العَقْلِ عَنْ مُلَاحَظَةِ المَخْلُوْقِيْنَ. 

“Ikhlas adalah membersihkan akal dari perhatian makhluk.”

Adab dan Etika dalam Belajar

Menuntut ilmu juga sebuah kewajiban dan ketaatan. Aturan menuntut ilmu yang benar juga sudah ada. Dalam kitab karangan KH. Hasyim ‘Asy’ari yang berjudul “Adabul ‘Alim wa Al-Muta’allim” dijelaskan ada 10 etika pelajar terhadap dirinya sendiri, salah-satunya adalah memperbaiki niat yaitu belajar ikhlas semata-mata mencari ridho Allah.

Baca Juga:  Relevansi Santri di Era Modernisasi

آدَابُ المُتَعَلِّمِ فِيْ نَفْسِهِ … أَنْ يُحْسِنَ النِّيَةَ فِيْ طَلَبِ العِلْمِ بِأَنْ يَقْصِدَ بِهِ وَجْهَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالْعَمَلَ بِهِ وَإِحْيَاءَ الشَّرِيْعَةِ وَتَنْوِيْرَ قَلْبِهِ وَتَحْلِيَّةَ بَاطِنِهِ وَالتَّقَرُّبَ مِنَ اللهِ تَعَالَى، وَلَا يَقْصِدَ بِهِ الإِغْرَاضَ الدُّنْيَوِيّةَ مِنْ تَحْصِيْلِ الرِّيَاسَةِ وَالْجَاهِ وَالْمَالِ وَمُبَاهَاةِ الأَقْرَانِ وَتَعْظِيْمِ النَاسِ لَهُ وَنَحْوِ ذَلِكَ.

 “Di antara adab/etika pelajar terhadap dirinya sendiri adalah membaguskan niat dalam mencari ilmu, yaitu bertujuan semata-mata mencari ridho Allah, mengamalkan ilmu, menghidupkan syari’at, menerangi hati, menghias nurani dan qana’ah (mendekat) kepada Allah. Tidak bertujuan duniawi baik berupa kepemimpinan, jabatan, harta benda, keunggulan atas teman-temannya, penghormatan masyarakat kepada dirinya dan lain sebagainya.”

Pentingnya Ikhlasnya Guru dalam Mengajar

Bukan hanya pelajar yang dituntut ikhlas, guru yang mengajar pun juga. Sama halnya yang diterangkan oleh KH. Hasyim Asy’ari tentang adab guru terhadap muridnya yang ada 14, salah satunya adalah ikhlas. Nah, di sinilah kita bisa menemukan jawaban dari pertanyaan “Bagaimana jika belajar kita tidak ikhlas?” dengan menyangkut pautkan interaksi antara guru dan murid.

آدَابُ العَالِمِ مَعَ تَلَامِذَتِهِ … أَنْ لَا يَمْتَنِعَ عَنْ تَعْلِيْمِ الطَالِبِ لِعَدَمِ خُلُوْصِ نِيَّتِهِ, فَإِنَّ حُسْنَ الِنّيَةِ مَرْجُوٌّ بِبَرَكَةِ العِلْمِ قَالَ بَعْضُ السَلَفِ طَلَبْنَا العِلْمَ لِغَيْر اللهِ فَأَبَى العِلْمُ أَنْ يَكُوْنَ إلَّا لِلّهِ, قِيْلَ مَعْنَاهُ فَكَانَ عَاقِبَتُهُ أَنْ صَارَ لِلّهِ. وَلِأَنَّ إخْلَاصَ النِيَةِ لَوْ شَرَّطَ فِيْ تَعْلِيْمِ المُبْتَدِئِيْنَ مَعَ عُسْرِهِ عَلَى كَثِيْرٍ مِنْهُمْ لَأَدَّى ذَلِكَ إِلَى تَفْوِيْتِ العِلْمِ عَلَى كَثْرَةٍ مِنِ النَاسِ, وَلكِنَّ العَالِمَ يُحَرِّضُ المُبْتَدِئَ عَلَى حُسْنِ النِيَّةِ يَنَالُ الرَتْبَةَ العَلِيَّةَ مِنَ العِلْمِ وَالعَمَلِ وَفَيْضَ الَّلطَائِفِ وَأَنْوَاعَ الحِكَمِ وَتَنْوِيْرَ القَلْبَ, وانْشِرَاحَ الصَدْرِ وَإِصَابَةَ الحَقِّ وَحُسْنَ الحَاِل وَالتَسْدِيْدَ فِي المَقَالِ وَعُلُوَّ الدَرَجَاتِ يَوْمَ القِيَامَةِ, وَيَرْغَبُهُ فِي العَلْمِ وَطَلَبِهِ فِي أَكْثَرِ الأَوْقَاتِ بِذِكْرِ مَا أَعَدَّ اللهُ تَعَالَى لِلْعُلَمَاءِ مِنْ مَنَازِلِ الكَرَامَاتِ, فَإِنَّهُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَعَلَى مَنَابرَ مِنْ نُوْرٍ يَغْبِطُهُمْ الْلأَنْبِيَاءُ وَالشُّهَدَاء وَنَحْوُ ذَلِكَ…الخ 

Baca Juga:  TAQORRUBAT, Aplikasi Dzikir dan Doa Terlengkap Terbaik - Rekomendasi

“Ketiadaan keikhlasan niat murid hendaknya tidak menghalangi guru untuk tetap mengajar muridnya; karena bagusnya niat diharapkan (bisa muncul) atas barokah ilmu. 
 

Sebagian ulama’ salaf berkata:

طَلَبْنَا العِلْمَ لِغَيْر اللهِ فَأَبَى العِلْمُ أَنْ يَكُوْنَ إلَّا لِلّهِ 

“Kami menuntut ilmu (dengan niat) selain Allah, namun ilmu menolak niat kecuali Allah semata.”

Menurut satu pendapat, makna ungkapan di atas adalah bahwa pada akhirnya ilmu pasti diniatkan kepada Allah. Seandainya keikhlasan niat menjadi syarat dalam pengajaran para pemula padahal keikhlasan niat itu sulit dilakukan oleh kebanyakan pelajar, tentu persyaratan itu menyebabkan ilmu tidak bisa dipelajari oleh banyak orang.

Tugas Seorang Guru

Tugas guru adalah memotivasi murid baru agar memperbaiki niatnya secara bertahap, baik motivasi berupa perkataan maupun perbuatan. Guru perlu menjelaskan kepada murid bahwa melalui barokah niat yang bagus, pelajar akan meraih derajat yang luhur, baik dalam hal ilmu, amal, berbagai macam anugerah tersembunyi dan hikmah, hati yang jernih dan terbuka, menetapi kebenaran, kondisi yang bagus, kebenaran perkataan, serta derajat yang luhur di akhirat nanti.

Guru memotivasi pelajar agar menggemari ilmu dan gemar menuntut ilmu pada menggunakan waktu-waktunya dengan mengingatkan apa yang dijanjikan oleh Allah bagi ulama’, berupa derajat-derajat kemuliaan. Sesungguhnya mereka adalah pewaris para Nabi, mereka akan ditempatkan di atas mimbar-mimbar dari cahaya yang diidam-idamkan oleh para Nabi dan Syuhada’…”

Keterangan yang perlu diperhatikan adalah “Menurut satu pendapat, makna ungkapan di atas adalah bahwa pada akhirnya ilmu pasti diniatkan kepada Allah. Seandainya keikhlasan niat menjadi syarat dalam pengajaran para pemula padahal keikhlasan niat itu sulit dilakukan oleh kebanyakan pelajar, tentu persyaratan itu menyebabkan ilmu tidak bisa dipelajari oleh banyak orang.”

Baca Juga:  Shalat Sunnah Sebelum Asar, Apakah Ada?

Baca: 7 Tips Belajar Mengajar Online Efektif, Menyenangkan untuk Guru, Dosen, Siswa

Ikhlas itu Tidak Mudah

Memang tidak semudah itu untuk membuat diri ikhlas belajar karena Allah, karena manusia pada umumnya mudah lengah. Namun, jika belajar harus menunggu keikhlasan, tentu hanya sedikit orang yang akan belajar di dunia ini. Maka dari itu dalam proses belajar antara guru dan murid harus ada interaksi yang baik, dan guru sebagai pembimbing harus lebih mengayomi dan memotivasi peserta didiknya.

Banyak hal yang bisa diupayakan untuk membuat murid secara perlahan dan bertahap bisa mencapai ketulusan niat belajar. Dalam dunia Islam ilmu bukan hanya sekedar teori yang diajarkan, namun harus dibarengi dengan praktik dan etika. Bukan hanya ilmu agama saja yang dimaksud, tapi semua ilmu, termasuk ilmu-ilmu yang terlihat umum. Orang yang berilmu seharusnya semakin yakin dengan keagungan Allah, bahwa semua yang ada di dunia adalah qadha’ dan qadar Allah.

Tujuan Pendidikan dalam Islam

Tujuan pendidikan dalam Islam tak lain memang untuk mencapai tingkat taqwa kepada Allah dengan mematuhi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Teruslah belajar, berproses, berusaha, berdoa dan yakin dengan barokah ilmu-ilmu Allah yang akan menghantarkan kita benar-benar ikhlas karena Allah.

Semoga artikel ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua. Aamiin. Jangan lupa bagikan ke teman atau saudara kamu. Wallahu A’lam Bishawab.

Penulis: I’anatut Tazkiyah (Santri Ma’had Aly UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)

Referensi:

  • Imam Nawawi. 2019. “Adabul Alim wa al-Muta’allim wa al-Mufti wa al-Mustafti wa Fadhli Thalabi al-Ilmi”, terjem. H.Jemmy Hendiko, Lc., MIRKH. Solo: PQS Publishing.
  • Hasyim Asy’ari. 2017. “Pendidikan Karakter Khas Pesantren (Adabul ‘Alim wa Al-Muta’allim), terjem. Dr. Rosidin, M.Pd.I. Tangerang: Tsmart Printing.
  • Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari. “Adabul ‘Alim wa Al-Muta’allim”. Jombang: Maktabah At-Turots Al-Islami.

Editor: Fajar Wahid Rifai