Dalam menetapkan suatu hukum, perlu adanya sumber penetapan hukum yang pasti. Begitu pula dengan penetapan hukum dalam Islam. Sumber utama dalam penetapan hukum Islam ialah al-Qur’an. Sedangkan sumber kedua setelahnya ialah hadis. Al-Qur’an dan hadist mengatur seluruh kehidupan manusia dari hal paling kecil hingga pada permasalahan yang cukup besar. Berikut akan kami bahas secara singkat mengenai sumber hukum dalam Islam.
Al-Qur’an
Al-Qur’an meupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Secara bahasa, wahyu memiliki arti “memberi tahu dengan cepat dan tersembunyi”. Pengertian ini ditunjukkan dalam Al-Quran sebagai berikut :
- Ilham kepada manusia, Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Qashas ayat 7:
وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ
Artinya: Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia,” [QS. Al-Qashas : 7]
Terjemahan tekstual “وَأَوْحَيْنَا” dalam ayat tersebut adalah “Kami mewahyukan”. Akan tetapi dalam ayat ini memiliki makna yang berbeda. Wahyu dalam ayat ini tidak diberikan sebagaimana Allah mewahyukan kepada para Nabi. Kata wahyu disini memiliki makna memberi ilham kepada manusia. Yakni Allah memberi ilham kepada ibunda Musa untuk menyusui putranya.
- Naluri yang diberikan kepada hewan. Allah ta’ala berfirman :
وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ
Artinya: Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”,[QS. An-Nahl : 68]
Dalam ayat tersebut Allah menggunakan kata “وَأَوْحَى” yang artinya adalah mewahyukan. Kata mewahyukan disini memiliki makna bahwa Allah memberi ilham berupa naluri kepada hewan. Dalam ayat ini Allah memberi ilham kepada para lebah untuk membuat sarang di bukit, pohon kayu, dan tempat yang dibuat oleh manusia.
- memberi isyarat yang cepat. Allah ta’ala berfirman :
فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ مِنَ الْمِحْرَابِ فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ أَنْ سَبِّحُوا بُكْرَةً وَعَشِيًّا
Artinya: Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.
[QS. Maryam : 11]
Kata “فَأَوْحَى” dalam ayat di atas bermakna memberikan isyarat. Ayat tersebut bercerita tentang Nabi Zakariya yang sedang berpuasa dari berbicara selama tiga hari tiga malam. Sehingga ketika harus menyampaikan pesan kepada kaumnya untuk bertasbih di waktu pagi dan petang ia melakukannya dengan memberi isyarat.
- Bisikan setan. Allah ta’ala berfirman :
وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ
Artinya: Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu
[QS. Al-An’am : 121]
- Perintah Allah pada malaikat. Allah ta’ala berfirman :
إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آمَنُوا
(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman”
[QS. Al-Anfal : 12]
Berdasarkan keterangan diatas, wahyu memiliki pengertian yang berbeda-beda. Pengertian tersebut diambil berdasarkan konteks bacaannya. Begitu pula dalam memaknai wahyu Al-Qur’an. Wahyu dimaknai sebagai Firman Allah yang disampaikan kepada para nabi dan auliya’. Sedangkan Al-Qur’an merupakan kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat jibril, diturunkan secara berangsur-angsur untuk dijadikan pedoman hidup bagi umat muslim dunia.
Nabi Muhammad SAW menerima mukjizat berupa aAl-Qur’an secara berangsur-angsur, yakni 22 tahun 2 bulan 22 hari. Diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur memiliki hikmah tersendiri. Yakni mengenai arti penting sebuah proses dari pada hasil. Saat membaca Al-Qur’an pun Allah memerintahkan untuk membacanya dengan pelan dan tartil.
Hadist
Hadist merupakan sumber kedua dalam Islam setelah Al-Qur’an. Hadist ialah perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW setelah beliau diangkat menjadi Nabi Allah. Terdapat istilah yang hampir sama dengan hadist akan tetapi memiliki makna yang berbeda, yakni sunah, atsar dan khabar.
Sunnah: segala yang bersumber dari nabi, baik perkataan, perbuatan dan ketetapannya semenjak beliau belum diangkat menjadi Nabi
Atsar: perkataan sahabat
Khabar: hadist yang disandarkan pada nabi
Fungsi dan kedudukan hadis dalam Al-Qur’an
- Memperjelas isi Al-Qur’an
Fungsi Hadist sebagai bayan taqrir berarti memperkuat isi dari Al-Quran. Sebagai contoh hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim terkait perintah berwudhu, yakni:
قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّ اللَّه عَلَيْهِ ؤَسَلَّم: لا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةَ أَحَدِكُمْ إذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Rasulullah SAW bersabda, tidak diterima shalat seseorang yang berhadats sampai ia berwudhu” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)
Hadits diatas mentaqrir dari surat Al-Maidah ayat 6 yang berbunyi:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS. Al-Maidah: 6)
- Menafsirkan isi Al-Qur’an
Bayan At Tafsir memiliki arti sebagai fugsi perincian dan penafsiran Al-Quran. Mungkin di Al-Quran masih bersifat umum, sedangkan dalam hadist diperinci dan didetailkan serta mentekniskan apa yang tidak dijelaskan dalam Al-Quran.
Misalnya saja Allah memerintahkan manusia beriman untuk melaksanakan shalat. Mengenai teknis detail dan caranya, hal ini diperjelas dengan hadist sebagaimana yang telah Rasulullah lakukan.
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Artinya: “Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat),” (QS. Al-Isra [17]: 78).
ayat diatas diperjelas dengan hadis Nabi Muhammad SAW
صلوا كما رأيتموني أصلي
Artinnya; “Shalatlah Kalian sebagaimana kalian melihat saya (melakukan) Shalat” (HR. Bukhari)
- Memberi kepastian hukum Islam yang tidak ada dalam Al-Qu’an
Tidak semua perkara agama dijelaskan dalam Al-Quran. Dengan demikian, ada kalanya suatu hadis menetapkan hukum baru dalam Islam. Sebagai misal, Al-Quran tidak menjelaskan tentang hukum seorang laki-laki yang menikahi saudara perempuan istrinya. Perkara tersebut dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Dilarang seseorang mengumpulkan [mengawini secara bersama] seorang perempuan dengan saudara dari ayahnya serta seorang perempuan dengan saudara perempuan dari ibunya,” (H.R. Bukhari).
- Mengganti ketentuan terdahulu
Fungsi hadits terhadap Al Quran selanjutnya adalah Baya Nasakh. Para ulama mendefinisikan Bayan Nasakh berarti ketentuan yang datang kemudian dapat menghapuskan ketentuan yang terdahulu, sebab ketentuan yang baru dianggap lebih cocok dengan lingkungannya dan lebih luas.
Contohnya:
“Tidak ada wasiat bagi ahli waris”
Hadits ini menasakh surat QS.Al-Baqarah ayat 180:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ اِذَا حَضَرَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ اِنْ تَرَكَ خَيْرًا ۖ ۨالْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ ۗ
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara ma’ruf. (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa” – (QS.Al-Baqarah:180)
Untuk fungsi hadits sebagai Bayan Nasakh ini ada perdebatan di kalangan ulama. Ada juga yang berpendapat Bayan Nasakh bukanlah fungsi hadits.